To na indanriki’ lino
To
na pake sangattu’
Kunbai lau’ ri puyo
Pa’
Tondokkan marendeng*)
* Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk
sesaat. Sebab, di puyo-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan
hidup yang sesungguhnya.
Hari
masih pagi. Mata saya pun kawan seperjalanan saya Yucki belum sepenuhnya terjaga
dari tidur diatas kendara yang tak sepenuhnya nyenyak. Biasanya waktu seperti ini mungkin waktu
terbaik untuk bermalasan di lembut kasur.
Namun pagi ini kami telah menginjakkan kaki di negeri subur bertaburan
rumah panggung berukir indah dengan gunung-gunung batu terjal tertata rapi
mengelilinginya. Sementara boneka-boneka
cantik diatas bukit batu tempat jasad disemayamkan dengan tajamnya mengikuti
langkah kaki kami di pagi ini. Sebuah lanskap
yang tak henti menerbitkan decak kagum : Tana Toraja
Untuk
tiba di dataran Tana Toraja, kami memulai perjalanan dengan kereta dari Jogja
menuju Surabaya, meskipun ada penerbangan direct Yogyakarta-Makasar. Sesampai
kami di bandara Sultan Hasanudin, kami harus lanjutkan perjalanan darat sejauh
325 km dengan waktu tempuh sekitar delapan jam.
Malam itu setiba di bandara kami sudah di jemput travel yang akan
mengantar kami menuju pool Bus malam Primadona yang melayani rute
Makasar-Toraja. Dengan membayar Bus
seharga 180 ribu dan dengan pelayanan yang bagus dari bus ini membuat kami
merasa nyaman selama menghabiskan perjalanan 8 jam. Pada
hari tertentu maskapai Sushi Air melayani penerbangan rute Makassar-Toraja,
sayangnya jadwal penerbangan tidak setiap hari ada. Hal ini menyulitkan kami yang hanya punya
waktu sehari di Tana Toraja. Kami
sengaja merencakan sehari di Toraja karena keterbatasan waktu kami dalam liburan.
Kami
pilih Rantepao di Toraja Utara sebagai titik awal kami mengeksplore dataran
tinggi ini. Di rantepao ini kita bisa
mencari penginapan, rental motor maupun mobil, ataupun jika ingin satu paket
bisa menggunakan paket dari travel. Hanya
saja untuk muslim harus selektif dalam memilih makanan.
Pagi
itu masih sekitar pukul 06.10 Wita udara juga masih dingin, disela kami masih
bingung mencari informasi kami dapat kabar bahwa hari itu akan diselenggarakan
upacara adat rambu solo di lembang Rante Pangli. Kabar upacara penguburan ini nampaknya sudah
diketahui orang se antero tana toraja. Bermodal
peta manual yang kami peroleh dari pemilik rental motor, kami cari tempat upacara
kematian ini akan digelar. Meskipun
udara dingin kami paksakan naik bukit karena tak ingin tertinggal menyaksikan
upacara adat ini. Kami banyak bertanya
arah ke beberapa orang yang kami temui dan kami rasa orang tana toraja sangat ramah. Sampailah kami di satu lembang, yak Rante
pangli. Kami tanyakan lagi kebenaran
tempat ini ke Sang bene (istilah
untuk menyebut perempuan di tana toraja) dan rupanya dia memiliki hubungan
kekerabatan dengan tuan rumah penyelenggara upacar kematian. Diakhir kalimat dia menawarkan diri menemani
kami berkeliling seputar Rante pangli. Kami
mengunjungi situs makam pembunuh pendeta Van de Lostre, konon ini adalah
misionaris pertama yang menyebarkan agama Protestan di dataran tinggi Tana
Toraja yang dibunuh oleh orang Toraja sendiri.
Selain tempat tersebut kami datangi juga Bori Kalimbuang serta museum
nek ngendong.
Rambu Solo : Tradisi
yang tak lekang jaman
Secara
harafiah Toraja berarti orang-orang yang berdiam di negeri atas. Sedang secara antropologi sub ras melayu tua
yang merupakan nenek moyang orang Toraja, konon merantau dengan perahu dan oleh
nasib dilemparkan di Pulau Sulawesi. Seiring
perjalanan waktu mereka jauh ke dataran tinggi di pedalaman dan hidup di Tongkonan yang atapnya berbentuk
seperti perahu (meskipun ada juga yang menyebut atap tongkonan lebih mirip
seperti tanduk kerbau, hewan yang memiliki fungsi sosial dan ekonomis bagi
masyrakat Toraja. Ajaran nenek moyang Toraja
di kenal dengan istilah aluk todolo,poin
dari ajaran ini adalah pandangan terhadap kosmos, kesetiaan pada leluhur, dan
menyembah Puang Matua (Tuhan). Sekalipun saat ini mayoritas masyarakat
Toraja beragama protestan, aluk todolo
masih mendasari sendi kehidupan. Salah
satu upacara yang masih dipegang teguh adalah upacara penguburan (rambu solo). Dan pagi ini kami mendapat
kesempatan bisa menyaksikan upacara ini.
Bersama
Sang bene Since kami mendatangi
tempat upacara rambu solo akan
diadakan, pagi itu semua orang yang ada disana masih sibuk mempersiapkan
upacara. Area upacara dihias sedemikian
rupa, serangkaian bunga ucapan bela sungkawa berjajar rapi di sepanjang jalan
menuju area upacara, maklum saja mendiang ini sebagai sosok yang dihormati di
daerah tana toraja khususnya Toraja Utara.
Tongkonan tempat mendiang
“Pakkan Sallao, SH” disemayamkan terlihat mewah, Puluhan tedong (kerbau) sudah mulai berdatangan dengan langkah gontai,
seperti sudah tahu bahwa hari inilah hidup mereka akan berakhir. Beginilah cara
orang Tana Toraja merayakan kematian.
Kematian tak selamanya harus bermuram durja dan berurai air mata. Ya, kematian harus dirayakan.
Detik-detik
upacara akan dimulai, tamu undangan, kerabat, masyarakat maupun para wisatawan lokal
maupun mancanegara sejak pagi sudah datang demi menyaksikan upacara sakral
kematian Pakkan Sallao. Sudah setahun
jasad Pakkan Sallao dibiarkan berada di tongkonan yang letaknya di selatan
rumah. Bagi masyarakat tana toraja, jarak
antara waktu kematian hingga penguburan bisa memakan waktu bertahun-tahun. Namun sesuai ajaran aluk todolo, kematian baru benar-benar dianggap tiba bila upacara
pemakaman sudah berlangsung. Selama upacara penguburan belum diselenggarakan
oleh keluarga, maka selama itu pula orang yang meninggal masih diperlakukan
bagai orang bernyawa.
Dalam
menyiapkan upacara ini keluarga rela menghabiskan miliaran rupiah demi sebuah perayaan
kematian. Melihat upacara ini terbersit tanya dalam benak kami berapa miliar
habis untuk rambu solo Pakkan Sallao. Masyarakat
tana toraja meyakini orang yang telah meninggal dunia akan menuju ke suatu
tempat yang disebut Puyo (tempat
berkumpulnya semua roh yang terletak di sebelah selatan tempat tinggal
manusia). Konon katanya mayat yang tidak
diupacarakan sesuai ajaran, mereka tidak akan mencapai puyo sehingga jiwanya akan tersesat. Namun nilai positif dari upacara penguburan
ini adalah mempererat tali persaudaran antara keluarga, pasalnya seluruh
keluarga yang berada di luar Tana Toraja menyempatkan pulang demi upacara ini.
Tedong : Dialah yang di
belai untuk di bantai
Tedong (kerbau) selalu menghisasi setiap
perayaan kematian di Tana Toraja, mereka percaya bahwa kerbau yang dipotong itu
akan mengikuti arwah yang meninggal menuju ke Puyo. Semakin banyak hewan yang
dikorbankan,semakin mempermudah perjalanan arwah menuju ke Puyo.
Dalam
acara adat pemotongan kerbau (mantunu),
jumlah kerbau baik dari sumbangan maupun dari pihak keluarga berjumlah 80
kerbau. Disaksikan para tamu dan
kerabat, satu per satu kerbau dibawa ke tengah arena upacara untuk diikat
kakinya pada sebuah tonggak kayu dan serta merta ditebas lehernya. Daging kerbau tersebut selanjutnya diberikan
kepada masyarakat dan kerabat sebagai ucapan terimakasih dan permohonan maaf. Namun
hal yang menarik sebelum ritual mantunu
dimulai, terdapat upacara ma’badong,
nyanyian penghormatan kepada jenazah yang dilakukan sambil melingkar
bergandengan dan melompat-lompat kecil. Hari
itu kami bahagia bisa menyaksikan salah satu upacara sakral yang begitu mistis.
Ketika
akhirnya malam tiba dan saatnya bagi kami meninggalkan negeri cantik yang diawasi
boneka-boneka cantik (baca : tau-tau) di atas ketinggian, ada sesak yang tetiba
menyapa. Sesak yang teramat seperti saat
saya menyaksikan satu per satu kerbau ditebas begitu sadis. Sungguh berat kami meninggalkan negeri di
atas awan ini, namun ada sebuah asa yang tertinggal disaksikan tau-tau di puncak gunung itu bahwa kali
lain kami akan menyinggahinya kembali. (nars)