Rabu, 18 Mei 2016

MERAYAKAN KEMATIAN DI NEGERI ATAS AWAN


To na indanriki’ lino
To na pake sangattu’
 Kunbai lau’ ri puyo
Pa’ Tondokkan marendeng*)
* Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di puyo-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya. 


Hari masih pagi. Mata saya pun kawan seperjalanan saya Yucki belum sepenuhnya terjaga dari tidur diatas kendara yang tak sepenuhnya nyenyak.  Biasanya waktu seperti ini mungkin waktu terbaik untuk bermalasan di lembut kasur.  Namun pagi ini kami telah menginjakkan kaki di negeri subur bertaburan rumah panggung berukir indah dengan gunung-gunung batu terjal tertata rapi mengelilinginya.  Sementara boneka-boneka cantik diatas bukit batu tempat jasad disemayamkan dengan tajamnya mengikuti langkah kaki kami di pagi ini.  Sebuah lanskap yang tak henti menerbitkan decak kagum : Tana Toraja

Untuk tiba di dataran Tana Toraja, kami memulai perjalanan dengan kereta dari Jogja menuju Surabaya, meskipun ada penerbangan direct Yogyakarta-Makasar. Sesampai kami di bandara Sultan Hasanudin, kami harus lanjutkan perjalanan darat sejauh 325 km dengan waktu tempuh sekitar delapan jam.  Malam itu setiba di bandara kami sudah di jemput travel yang akan mengantar kami menuju pool Bus malam Primadona yang melayani rute Makasar-Toraja.  Dengan membayar Bus seharga 180 ribu dan dengan pelayanan yang bagus dari bus ini membuat kami merasa nyaman selama menghabiskan perjalanan 8 jam. Pada hari tertentu maskapai Sushi Air melayani penerbangan rute Makassar-Toraja, sayangnya jadwal penerbangan tidak setiap hari ada.  Hal ini menyulitkan kami yang hanya punya waktu sehari di Tana Toraja.  Kami sengaja merencakan sehari di Toraja karena keterbatasan waktu kami dalam liburan.

Kami pilih Rantepao di Toraja Utara sebagai titik awal kami mengeksplore dataran tinggi ini.  Di rantepao ini kita bisa mencari penginapan, rental motor maupun mobil, ataupun jika ingin satu paket bisa menggunakan paket dari travel.  Hanya saja untuk muslim harus selektif dalam memilih makanan.

Pagi itu masih sekitar pukul 06.10 Wita udara juga masih dingin, disela kami masih bingung mencari informasi kami dapat kabar bahwa hari itu akan diselenggarakan upacara adat rambu solo di lembang Rante Pangli.  Kabar upacara penguburan ini nampaknya sudah diketahui orang se antero tana toraja.  Bermodal peta manual yang kami peroleh dari pemilik rental motor, kami cari tempat upacara kematian ini akan digelar.  Meskipun udara dingin kami paksakan naik bukit karena tak ingin tertinggal menyaksikan upacara adat ini.  Kami banyak bertanya arah ke beberapa orang yang kami temui dan kami rasa orang tana toraja sangat ramah.  Sampailah kami di satu lembang, yak Rante pangli.  Kami tanyakan lagi kebenaran tempat ini ke Sang bene (istilah untuk menyebut perempuan di tana toraja) dan rupanya dia memiliki hubungan kekerabatan dengan tuan rumah penyelenggara upacar kematian.  Diakhir kalimat dia menawarkan diri menemani kami berkeliling seputar Rante pangli.  Kami mengunjungi situs makam pembunuh pendeta Van de Lostre, konon ini adalah misionaris pertama yang menyebarkan agama Protestan di dataran tinggi Tana Toraja yang dibunuh oleh orang Toraja sendiri.  Selain tempat tersebut kami datangi juga Bori Kalimbuang serta museum nek ngendong.

Rambu Solo : Tradisi yang tak lekang jaman
Secara harafiah Toraja berarti orang-orang yang berdiam di negeri atas.  Sedang secara antropologi sub ras melayu tua yang merupakan nenek moyang orang Toraja, konon merantau dengan perahu dan oleh nasib dilemparkan di Pulau Sulawesi.  Seiring perjalanan waktu mereka jauh ke dataran tinggi di pedalaman dan hidup di Tongkonan yang atapnya berbentuk seperti perahu (meskipun ada juga yang menyebut atap tongkonan lebih mirip seperti tanduk kerbau, hewan yang memiliki fungsi sosial dan ekonomis bagi masyrakat Toraja.  Ajaran nenek moyang Toraja di kenal dengan istilah aluk todolo,poin dari ajaran ini adalah pandangan terhadap kosmos, kesetiaan pada leluhur, dan menyembah Puang Matua (Tuhan).  Sekalipun saat ini mayoritas masyarakat Toraja beragama protestan, aluk todolo masih mendasari sendi kehidupan.  Salah satu upacara yang masih dipegang teguh adalah upacara penguburan (rambu solo). Dan pagi ini kami mendapat kesempatan bisa menyaksikan upacara ini.  
                            
Bersama Sang bene Since kami mendatangi tempat upacara rambu solo akan diadakan, pagi itu semua orang yang ada disana masih sibuk mempersiapkan upacara.  Area upacara dihias sedemikian rupa, serangkaian bunga ucapan bela sungkawa berjajar rapi di sepanjang jalan menuju area upacara, maklum saja mendiang ini sebagai sosok yang dihormati di daerah tana toraja khususnya Toraja Utara.  Tongkonan tempat mendiang “Pakkan Sallao, SH” disemayamkan terlihat mewah, Puluhan tedong (kerbau) sudah mulai berdatangan dengan langkah gontai, seperti sudah tahu bahwa hari inilah hidup mereka akan berakhir. Beginilah cara orang Tana Toraja merayakan kematian.  Kematian tak selamanya harus bermuram durja dan berurai air mata.  Ya, kematian harus dirayakan.

Detik-detik upacara akan dimulai, tamu undangan, kerabat, masyarakat maupun para wisatawan lokal maupun mancanegara sejak pagi sudah datang demi menyaksikan upacara sakral kematian Pakkan Sallao.  Sudah setahun jasad Pakkan Sallao dibiarkan berada di tongkonan yang letaknya di selatan rumah.  Bagi masyarakat tana toraja, jarak antara waktu kematian hingga penguburan bisa memakan waktu bertahun-tahun.  Namun sesuai ajaran aluk todolo, kematian baru benar-benar dianggap tiba bila upacara pemakaman sudah berlangsung. Selama upacara penguburan belum diselenggarakan oleh keluarga, maka selama itu pula orang yang meninggal masih diperlakukan bagai orang bernyawa.  

Dalam menyiapkan upacara ini keluarga rela menghabiskan miliaran rupiah demi sebuah perayaan kematian. Melihat upacara ini terbersit tanya dalam benak kami berapa miliar habis untuk rambu solo Pakkan Sallao.  Masyarakat tana toraja meyakini orang yang telah meninggal dunia akan menuju ke suatu tempat yang disebut Puyo (tempat berkumpulnya semua roh yang terletak di sebelah selatan tempat tinggal manusia).  Konon katanya mayat yang tidak diupacarakan sesuai ajaran, mereka tidak akan mencapai puyo sehingga jiwanya akan tersesat.  Namun nilai positif dari upacara penguburan ini adalah mempererat tali persaudaran antara keluarga, pasalnya seluruh keluarga yang berada di luar Tana Toraja menyempatkan pulang demi upacara ini.

Tedong : Dialah yang di belai untuk di bantai
Tedong (kerbau) selalu menghisasi setiap perayaan kematian di Tana Toraja, mereka percaya bahwa kerbau yang dipotong itu akan mengikuti arwah yang meninggal menuju ke Puyo.  Semakin banyak hewan yang dikorbankan,semakin mempermudah perjalanan arwah menuju ke Puyo. 


                                                                                            
                                                          Doc. Tedong balian

Dalam acara adat pemotongan kerbau (mantunu), jumlah kerbau baik dari sumbangan maupun dari pihak keluarga berjumlah 80 kerbau.  Disaksikan para tamu dan kerabat, satu per satu kerbau dibawa ke tengah arena upacara untuk diikat kakinya pada sebuah tonggak kayu dan serta merta ditebas lehernya.  Daging kerbau tersebut selanjutnya diberikan kepada masyarakat dan kerabat sebagai ucapan terimakasih dan permohonan maaf. Namun hal yang menarik sebelum ritual mantunu dimulai, terdapat upacara ma’badong, nyanyian penghormatan kepada jenazah yang dilakukan sambil melingkar bergandengan dan melompat-lompat kecil.  Hari itu kami bahagia bisa menyaksikan salah satu upacara sakral yang begitu mistis.

Ketika akhirnya malam tiba dan saatnya bagi kami meninggalkan negeri cantik yang diawasi boneka-boneka cantik (baca : tau-tau) di atas ketinggian, ada sesak yang tetiba menyapa.  Sesak yang teramat seperti saat saya menyaksikan satu per satu kerbau ditebas begitu sadis.  Sungguh berat kami meninggalkan negeri di atas awan ini, namun ada sebuah asa yang tertinggal disaksikan tau-tau di puncak gunung itu bahwa kali lain kami akan menyinggahinya kembali. (nars)