Rabu, 29 Juni 2011

Romantisme Becak Tua

Pada suatu pagi di sebuah pojokan perempatan jalan jantung kota Jogja, menjadi saksi seorang tukang becak berkisah dengan salah seorang yang juga kawan seperjuangannya.  Maka berkisahlah mereka diantara ramainya jalan di pagi hari, deru suara mesin mobil dan bus kota, lalu lalang pejalan kaki yang seperti tergesa ingin cepat sampai ke tujuannya, atau juga di ujung  jalan sana pemandangan kerumunan orang nongkrong di sebuah angkringan yang menyajikan makanan selera jelata sambil membincangkan politik yang terjadi hari itu. Ya..mereka berkisah seolah tak memedulikan itu semua.  Lepas saja mereka saling menimpali satu omongan di sambar dengan omongan berikutnya. 

“ ... Sesungguhnya jika suatu saat nanti kita sama-sama bahagia, itu buah dari tarikan napas sengal kita saat mengayuh becak demi mengantarkan penumpang menuju tempatnya... “ begitu lontaran dari salah satu tukang becak yang disambut temannya dengan ucapan yang seolah mempertegas apa yang baru saja diucapkan kawannya itu. “ ... Ya, orang-orang seperti kita ini bisanya hanya bermimpi dan mencoba sekuat kemampuan kita untuk merubahnya menjadi nyata, apa yang kita perjuangkan untuk keluarga ini suatu saat pasti akan ada hasilnya ...”.

Obrolan itu berlalu dengan penuh kesan bagi keduanya dan dengan keyakinan masing-masing mereka meyakini semua hal yang terucap itu akan mewujud.  Bagi keduanya, keyakinan cepat atau lambat akan mewujud apa yang mereka citakan, niat itu pulalah yang membuat keduanya bersemangat mengayuh becak-becak mereka mengantar sang pemberi rupiah itu inginkan, ya...di pagi itu berpuluh tahun yang lalu. 

Saat ini, detik ini kedua sahabat seprofesi itu dipertemukan kembali dalam sebuah obrolan pagi, tapi tentunya tak lagi di pojokan perempatan jalan seperti puluhan tahun yang lalu mereka lakukan sebagai ritual pagi sambil menunggu barangkali di pagi itu ada penumpang menginginkan menaiki becaknya.  Bisa saja pedagang sayuran yang tergesa menuju ke pasar dengan berkarung-karung barang dagangannya, anak-anak sekolah yang tak sempat di antarkan kedua orang tuanya maupun sopirnya dan terpaksa naik becak, moda transportasi pilihan terakhir buat para borju, atau para pegawai negri sipil yang takut terlambat apel pagi, atau bahkan para atlit yang berjoging, semangat pada awalnya, malas kalau harus pulang kembali dengan berjalan kaki.  Merekalah penyelamat bagi para tukang becak dipagi hari demi bisa membeli beras untuk di masak di siang hari nanti oleh istrinya.  Setiap kali mengayuh becak yang terlintas hanyalah wajah anak-anak dan isteri tercinta yag menantikan kedatangannya membawa sekilo beras dan roti sumbu kesukaan keluarga. 

Yah...cerita hidup itu masih jelas mereka ingat, namun saat ini mereka berbincang dan beromantisme di sebuah rumah sederhana, ya...rumah dari salah satu penarik becak itu yang memang sengaja mengundang sang kawan untuk bercengkerama di pagi hari sambil menikmati secangkir teh dan roti sumbu bersama.

“ ... anakku yang terakhir sudah menjadi Pegawai berseragam di Jakarta sekarang, baru dua minggu bekerja dia tau-tau mengabarkan di akhir pekan liburnya dia akan pulang menengok kampung ke Jogja, rindu ibu katanya saat kemarin dia mengabarkan ... “ begitu Pak Akarman memulai obrolan pagi itu.

“ ... Wah...wah tak sia-sia dulu kau sempatkan bangun pagi dan mengayuh becak, sekarang kau sudah memetik hasilnya ... “ balasan sahabatnya yang selalu ia juluki Pak Sas

“ ... Alhamdulilah, bagaimana dengan anak-anakmu? Yang ku dengar dua puluh tahun yang lalu dari seorang petugas di desa, anakmu telah berhasil menjadi seorang prajurit bersenjata ya?   Pekerjaan  yang tak jarang bagi sebagian orang harus mengernyitkan dahi saat mendengarnya, bukannya apa-apa tapi bukankah tidak sembarang orang bisa memasukinya kalau tak benar-benar dia tahan banting? Kabarnya juga kalau ada yang cengeng ketika masuk di pendidikan akan di buang ke tong sampah.  Wah..benar-benar mewarisi kegigihanmu ya teman, Tidak apalah kau di cutat dari kesatuanmu gara-gara sang dokter salah mendiagnosa sang purnawirawan berbintang 3 dan kau yang jadi tumbalnya yang  pada gilirannya kau tidak mendapatkan hak pensiun dan semacamnya, memilih kembali ke kampung halamanmu meninggalkan hiruk pikuknya Jakarta dan berprofesi sebagai tukang becak daripada berkeras mengingkari kenyataan dan memberontak ataupun merelakan diri di mutasi ke Irian Jaya. 

“ ... Semua sudah menjadi kehendak Gusti, Hidup memang tak bisa di tangkap, Seperti roda becak kita yang selalu berputar tiap detik, tiap menit, tiap jam, tiap hari, tiap bulan, tiap tahun begitu pun kita bukan? Tak akan ada yang sama setiap detik yang kita lalui itu. Ya anakku laki-laki satu-satunya memang sudah memenuhi inginku, hanya saja dia tinggal di Bogor sekarang dan berdinas di Jakarta. Akh..tapi masih di Jakarta, itu artinya masih dekat dengan Jogja sehingga kami bisa berkunjung kapan saja kangen.    Belakangan ini seringkali aku mengasah kegemaranku mendalang, ya hanya untuk klangenan saja, anak ragilku juga sering membelikan buku-buku wayang , tapi mataku sebenarnya sudah tak seterang dulu, makanya terkadang aku memilih di ceritakan isi bukunya, daripada membaca.  Hanya sesekali saja aku membaca itu pun hanya di bagian judul dan beberapa lembar yang tulisannya lebih besar dibandingkan yang lain, tapi isi ceritanya tak lagi sama dengan yang ku dengar jaman dulu dari simbah-simbah kita.

“ ... Bahagianya mendengarkan kau bertutur teman, aku selalu mengagumimu memperjuangkan keluargamu.  Setiap tetesan keringatmu dulu sudah terbayarkan kini, aku tak akan membanggakanmu jika keberhasilan anak-anakmu itu lantaran kau kolusi, menyogok dan semacamnya demi sebuah jabatan seperti yang banyak dilakukan orang-orang yang tak pernah berfikir dengan logika.  100 juta, 200 juta, bahkan kalau perlu 1 Miliar pun rela mereka berikan asalkan anak-anaknya bisa menduduki jabatan penting dalam negara. Yang sampai matipun tak akan sanggup melunasi utang-utangnya makanya banyak yang memilih jalan pintas untuk mengembalikan modalnya : KORUPSI !.  Sudah masuk dengan membeli SK, kerja malas-malasan, Korup lagi.  Bukankah itu menjegal gerak anak-anak kita, anak-anak buruh petani, nelayan  dan buruh pabrik yang memang benar-benar mampu? Akh...tapi lupakan itu kawan, tak penting juga kita membicarakannya, karena hanya akan membuat darah tinggiku kumat. Hahaha... lalu bagaimana dengan anak ragilmu, biasanya dia yang selalu membuatkan ku teh manis dan roti sumbu jika aku mampir ke rumahmu, dimana dia sekarang? Pagi ini dia belum menyapaku dan menyalamiku?

“ ... Itulah kawan, ragilku mewarisi kegemaranku dulu jaman masih muda, dia tidak pernah betah berlama-lama di rumah, ada saja alasan yang selalu dia lontarkan “...liburan sambil bekerja mencari pengalaman, syukur syukur bisa mengumpulkan duit sekarung ...” begitu katanya selalu membenarkan.  Tapi begitulah dia dan aku selalu membanggakannya, walaupun kadang membandel tapi dia sudah memenuhi keinginan bapak mamaknya kok.  Di antara anak-anakku dialah yang selalu mengajakku pergi jalan di masa-masa tuaku sekarang ini.  Dia juga yang melarangku untuk menjual becak tua ini, demi sebuah kata “Perjuangan”, begitu suatu kali ketika aku terlibat obrolan dengannya. Sesuatu yang berjasa menjadi perantara Tuhan dalam memberikan rezekinya hanya melalui becak tuaku ini.  Bagi kami memang becak tua inilah PUSAKA kami, maka terbersit ide kami berdua untuk mengecat ulang becak tua ini dan melukiskan gambar alam pedesaan yang memang dari sanalah aku bertumbuh, Ya..dan kami melukis besar-besar tulisan “BECAK KU, PUSAKA KU”, aku hanya ingin orang tau bahwa setiap perjuangan kita pasti akan ada hasilnya, untuk kita yang mau bersabar menunggu, apa yang kita perjuangkan itu nyata adanya !!!

Dan ketika aku sedang mengisahkan, sejujurnyalah aku sedang berkisah tentang my Heroes
Matursembahnuwun ya Pak !!!
                                                                                                KLU, Maret 2011