Selasa, 04 Februari 2014

JUST SAY IT “LAH”


kelirkata_narnar@blogspot.com, Kenapa menulis tag line itu, ehm,,,karena itulah kata pertama yang saya temui saat beberapa waktu lalu berjalan (jalan) ke Malaysia-Singapura.  Kata itu saya baca saat berada di cabin pesawat yang membawa kami terbang selama 3 jam dari Lombok menuju KL.  Learn the Language like when to use “LAH” begitu pesan singkat tentang apa yang harus kamu lakukan saat berada di Malaysia.  Rupanya pesan dalam tulisan itu benar saya temui baik di Malaysia maupun Singapura.  Setiap orang selalu mengakhiri kalimat orbolan menggunakan kata “LAH”.  Menjadi menarik buat saya untuk juga ikut-ikutan menggunakan kata LAH dalam setiap percakapan seperti No Sweat LAH/ Common LAH / Also Can LAH / Wait LAH/Sit Down LAH/ Relax LAH/ Tak pe LAH/ Boleh LAH/dll.  Tak ada maksud apa-apa selain memang saya tidak cukup ide memberi judul tulisan ini.

Bagi saya gaya traveling tentu sesuatu yang personal dan subyektif, ada yang ingin bersenang-senang, tapi saya ingin belajar menikmati kesederhanaan, ingin berani mengambil risiko, dan saya yakinkan diri bahwa sebuah perjalanan traveling akan lebih berharga dan berarti jika semua orang yang kita temui dijalan kita jadikan sebagai guru kita.  Entah nantinya akan berguna atau malah hanya akan berakhir di tong sampah kertas kertas itu, namun bagi saya menulis pengalaman itu cukup menarik.  Traveling bisa jadi barometer seberapa besar nyali, kemampuan bertahan, dan seberapa kuat karakter kita sebenarnya.  Menulis catatan perjalanan ini membuat saya teringat akan sosok Profesor Haris Otto Kamil Tanzil (baca : Hok Tanzil), seorang keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia.  Sang Profesor bersama istri sudah berkeliling ke 240 negara dan selalu menulis setiap perjalanan keliling dunianya itu dalam sebuah diary traveller (Mari belajar menulis pengalaman perjalanan dari grandpa ini).

Mengawali menulis catatan perjalanan di Sani Bus Station, yang berada di daerah Klang Meru, sambil bengong pasang headset yang waktu itu saya memutar MP3 Telling Stories nya Tracy Chapman dari Ponsel, //There is a Fiction in the space between // The lines of page of your memories // write it down but it doesn’t mean // Your’re not just telling stories // There is a Fiction in the space between you and me // There is a Fiction in the space between you and reality //, entah kenapa suka sekali memutar ulang lagu itu.  

Sambil menunggu Bus yang akan membawa kami melintas dua negara, yah,, kami hendak ke Singapura setelah sore tadi pukul 18.30 kami tiba di Malaysia. Saya bersama kawan-kawan seperjalanan memutuskan untuk langsung pergi ke tempat terjauh terlebih dahulu, dan sudah pasti Singapura karena negara ini masuk dalam itinerary kami.  Pukul 23.00 Bus yang akan membawa kami ke Singapura sudah tiba dan kami pun bergegas masuk mencari tempat duduk kami, sangat lelah jadi secepatnya ingin tidur dalam bus. Bus melaju sampai tidak tau lagi saya melewati mana saja, yang saya tahu melewati Malaka hingga Johor Bahru sampailah kita di perbatasan Malaysia dengan Singapura itu artinya kita harus turun untuk menuju Kantor Imigrasi Bangunan Sultan Iskandar, Malaysia untuk meminta cap paspor kita karena akan keluar menuju Singapura, salah satu catatan apabila kita harus ke kantor Imigrasi ini usahakan bergerak cepat, karena Bus yang kita tumpangi hanya memberikan toleransi waktu 30 menit untuk kita mengurus paspor kita, belum lagi kondisi dalam loket antrian yang cukup panjang.  Beruntung kali ini kami mulus dan sampai Bus tepat waktu, sebenarnya tidak mulus juga karena saya sempat terlambat sebentar gara-gara ke Toliet, haduh kena omelan Bas Captain dech.  Saya Cuma bisa senyum simpul tanpa dosa saja, kawan saya justru yang khawatir saya di tinggal.  Akhirnya bus jalan lagi, tidak sampai 1 jam tiba-tiba kami dikejutkan lagi oleh Bus Captain meminta semua penumpang keluar karena harus ke Imigrasi (lagi), kali ini kami diminta membawa bag kami dan memastikan tidak ada yang tertinggal.  Di Imigrasi masuk Singapura ini niatnya kami tidak ingin berlama-lama karenanya kami berlari sekali pun dalam escalator menuju ke loket antrian.  Saat sudah berada di depan petugas Imigrasi, rupanya ada yang kami lewatkan, kami tidak tahu kalau harus mengisi semacam Form untuk pengunjung, alhasil kami harus kembali ke belakang untuk mengambil form dan mengisinya itu artinya kami harus mengulang antri kembali, saat itu jam 04.00 pagi sudah sangat ramai, dan kami pun harus sabar mengantri dengan pikiran was-was jangan-jangan Bus kami benar-benar sudah jalan.  Tidak cukup mulus kali ini, karena sempat kawan saya agak lama pemeriksaannya entah kenapa yang pasti ketika kita masuk ke Singapura sekalipun kita masih bingung akan menginap dimana ataukah tidak menginap sama sekali, kita tetap harus punya referensi tempat menginap.  Setidaknya ini untuk jaga-jaga bila nanti pihak petugas Imigrasi menanyakan kepada kita secara detil waktu berkunjung, tujuan berkunjung dan dimana akan tinggal.  Untungnya kawan saya sudah mencatat referensi hotel itu dalam ponselnya sehingga saat ditanyakan kami bisa menjelaskannya.  Pada akhirnya paspor kawan saya berhasil di cap walaupun dengan ini itu yang lumayan menyita waktu.  Selesai kami cap kan paspor kami berlari menuju parkir Bus yang tadinya kami naiki dan benar feeling kami, Bus sudah tidak nampak.  Tak perlu saya jelaskan lagi kenapa.  Kami terpaksa keluarkan uang lagi untuk menaiki Bus lain, 5 Dollar Singapura untuk sampai ke Singapura, padahal rupanya jaraknya tak cukup jauh hanya sekitar 45 menit, tapi ya mau gimana lagi untung saja Bus ini cukup nyaman.   

Pukul 05.25 pagi kami sudah sampai di Singapura dan diturunkan di Beach Road.  Masih cukup gelap, hanya saja kami tak ingin berlama menunggu kami stop Taksi dan meminta untuk mengantar kami ke Little India, supir ini meminta 7 Dollar, karena ketidaktahuan kami lokasi yang akan kami datangi, maka kami nurut saja dan rupanya hanya berjarak sangat dekat.  Sampai di Little India kami mampir ke Masjid Abdol Gafoor untuk beribadah.  Di Little India ini dihuni oleh mayoritas orang India, ya iyalah dari namanya saja sudah jelas.  Sepintas berjalan melewati Little India ini bangunan-bangunan yang ada cukup kuno, gak beda jauh dengan semacam Pecinan gitu, belum ada satupun Toko atau rumah buka karena memang hari masih cukup pagi.  Selesai kami berjalan di Little India, kami berniat ke Bugis Street, tempat kami akan membeli Kartu MRT guna memudahkan transportasi kami, dengan membayar 12 Dollar Singapura, kita sudah bisa membeli kartu dengan debit senilai 7 Dollar.  Dengan menggunakan kartu itu kita bisa mengakses kemanapun tempat yang dilalui jalur MRT, tak perlu bingung lagi atau tertipu tukang taksi lagi.  Yah walopun kalau di kurs kan kita akan berfikir mahal sich, tapi sepadan kok dengan kenyamanan saat kita mengakses transportasi massal itu, ber AC, ada penunjuk jalur yang memudahkan kita.  Namun sebelum sampai ke Bugis Street kami sempatkan jalan-jalan dan mampir ke Pasar pagi yang sepertinya Pasar China tapi cukup ramai maklum saja Imlek sudah sangat dekat.  Sesampai di Bugis Street pun, belum ada toko yang buka, Bugis Street ini terkenal sebagai Pasar yang harganya cukup terjangkau.  Sesampai kami di Stasiun MRT, tujuan kami adalah langsung City Tour dengan rute yang sudah kami buat sebelumnya yakni, City Hall, Rafless Statue, Merlion Park, dan Esplnade.  Rute itu sangat berdekatan sehingga kita begitu tiba di pemberhentian MRT kita langsung berjalan berkeliling ke rute yang sudah kami tentukan tadi.   

Kami sengaja mempercepat karena memang kami hanya mengagendakan 1 hari saja di Singapura tanpa menginap, karena kami memiliki tujuan yang lebih jauh lagi yakni ke Penang, Malaysia Utara.  Puas kami berkeliling, kami putuskan untuk naik MRT kembali menuju ke Orchard Road, mendengar Orchard Road tentunya yang terlintas adalah surganya para Sophaholic, bagaimana tidak sepanjang jalan isinya Mal semua dengan gerai-gerai Branded ternama seperti Louis Vitton, Prada, Bvlgari, dll.  Setibanya di Orcard Road kami langsung menuju ke Lucky Plaza karena kami sudah sangat lapar, dan di Lucky Plaza ini ada food court khusus Asian Food. Yah kalau hanya sekedar nyari nasi Padang, bakso atau Gado-Gado ada lah, namun jangan kaget juga jika saja harga Gado-Gado menjadi 6 Dollar yang itu artinya sekitar yah hampir 60 ribu lah, sedangkan untuk air mineral bisa kita beli seharga 2 Dollar.  Puas kami makan dan bersantai akhirnya kami berkeliling Mal dan hari sudah semakin siang, kami sangat lelah akhirnya duduk-duduk sambil menikmati Yogurt yang saat itu kenapa rasanya jadi enak banget ya.  Puas kami di Orchard Road, kami menaiki MRT kembali dan kali ini berniat ke Marina Bay Sands, untuk kemudian meneruskan perjalanan menuju ke Woodlands dan melanjutkan perjalanan ke Terminal Larkin untuk berganti Bus dengan tujuan Kuala Lumpur.  Saat itu kami sampai di terminal Larkin sudah pukul 16.05 sore dan kami sempatkan makan dan minum Milo (melulu!).  

               doc. Standing in front of Rafless Statue

Pukul 05.24 (terlambat 1 jam) waktu Malaysia tibalah kami di bas station (baca:terminal) Sungai Nibong, Penang.  Perjalanan ini kami tempuh sekitar 10 Jam dari terminal Larkin, Johor Bahru. Keterlambatan ini bermula dari Bus Star Express  yang akan kami naiki dengan membayar 38 RM terkena pemeriksaan oleh petugas SPAD,  petugas SPAD yang melakukan sidak terhadap semua calon penumpang dan terdapatlah 1 penumpang yang membeli tiket dengan tujuan Johor Bahru – Taiping seharag 156 RM, menurut petugas SPAD tarif ini terlalu mahal untuk tujuan tersebut, alhasil dipanggillah petugas agen tiket, yah seperti halnya calo mereka tidak mau mengakui kalau mereka menjual tiket sangat mahal, argumentasi mereka si empunya tiket membeli tiket PP, padahal setelah petugas SPAD mengkonfirmasi kepada penumpang dia tidak merasa membeli tiket PP, hanya sekali jalan saja.  Tidak berhenti memanggil petugas tiket counter, si pemilik agen pun turut lah dipanggil, sepanjang saya lihat bos ini cukup sangar memang rupanya, hitam tinggi ala ala India, dengan nada keras justru si pemilik tiket justru meminta si calon penumpang itu turun dan akan mengembalikan uang tiketnya, dengan sedikit ancaman kalau lah tidak turun maka Bis pun tak akan laju.  Saya yang kebetulan berada berseberangan dengan si pemilik tiket itu melihat sendiri rupa-rupa ketakutan dan hanya bengong dengan jawaban singkat tidak mau turun dan tetap akan ikut Bas ini, sepintas anak ini masih muda dan saya juga kurang paham letak kota Taiping itu dimana yang jelas rupa anak ini sepertinya Tionghoa.  Saya agak kasihan juga dengan intimidasi dari si pemilik agen tiket ini kepadanya, untung saja petugas SPAD yang ada balik memarahi si pemilik agen tiket dan memaksa dia untuk mengembalikan separuh harga tiket yang sudah terbayar.  Beruntung masalah ini tidak berlarut dan selesai, karena jika tidak kami penumpang lain lah yang sedikit rugi karena itu artinya kami akan terlambat.  Sekitar Pukul 19.25 Bis mulai laju dan sudah benar-benar meninggalkan Johor Bahru.  Johor bahru ini merupakan Daerah di Malaysia yang berbatasan dengan Negara Singapura, jadi bisa di bilang lebih dekat ke Singapura daripada ke Kuala Lumpur.  Tidak banyak yang saya tahu tentang daerah ini karena memang kami hanya melewatinya saja, namun yang pasti ku tahu letak Legoland dan Hello Kitty House ada di daerah ini, keduanya menjadi destinasi baru di Malaysia yang kelak katanya akan menyaingi Universal Studio, Singapura.  Sengaja kami tidak masukkan dalam list itenerary kami karena perjalanan kali ini kami ingin mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah, namun saya simpan list ini untuk kali lain saja.

Dalam perjalanan ini praktis kami manfaatkan untuk tidur, menjelang pukul dua belas malam samar-samar terdengar orang berteriak lah sampai lah “KL sentral station”, saya terbangun dan yah ternyata benar kita sudah sampai di Kuala Lumpur dan langsung teringat kawan Backpacker kami Riri dan Ammah dari Padang yang harus turun di tempat ini, kami berpisah setelah sebelumnya kami sama-sama menapaki Negara Singapura karena mereka tidak cukup waktu jika harus mengikuti kami ke Penang. 

Bis berjalan kembali menuju terminal Puduraya, masih di Kuala Lumpur. Lumayan lama Bus berhenti, saya pun bukan kepalang kedinginannya maklum saja tidak cukup terbiasa dengan mesin pendingin ruangan, sampai sekitar setengah jam rupanya kami diminta untuk menuju Bus lain . Kami membayar senilai 39 RM untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Penang. Disini transfer penumpang itu hal yang biasa juga ternyata hanya saja antar Bus sudah memastikan betul ketersediaan tempat duduk sehingga penumpang yang akan memasuki Bus pengganti pun sudah pasti kebagian tempat duduk Hmmm,, cukup berbeda yah dengan di Negara kita, oper penumpang istilah yang lebih sering kita dengar, terkesan menjadi momok bagi penumpang maklum saja terkadang Bis pengganti tidak memiliki kapasitas untuk menampung  sehingga penumpang terpaksa berdiri, syukur-syukur sampai setengah perjalanan ada penumpang turun bisa lah kita duduk, nah parahnya kalau ternyata tidak ada yang turun, mati lah kita berdiri sampai tempat tujuan.  Akh, membicarakan transportasi umum ini saya yakin semua orang pernah mengalami lah bagaimana tidak nyamannya transportasi di negara kita, bisa panjang nih kalau saya ceritakan, maklum saja semasa kuliah dulu saya cukup sering memakai transportasi umum antar kota dan begitulah kira-kira pengalaman saya (sedikit curhat jadinya).  Pukul 00. 45 Bis baru yang kami naiki melaju cepat menuju ke Penang dan lagii kami tidur pulas sampai tiba di Terminal Sungai Nibong, Penang.  Kawan saya berusaha mengontak kenalannya yang bekerja di Penang, dan benar saja kami disuruh menunggu untuk di jemput. Ada sekitar 30 menit, mobil kawan yang menjemput kami sudah datang dan langsung membawa kami ke flat dengan terlebih dahulu mampir membeli sarapan, lokasi flat setinggi 18 lantai ini  banyak di sewa dan ditempati oleh para pekerja maupun rumah tangga, saya lupa menanyakan berapa biaya sewa setiap bulan ataupun tahunnya, yang pasti di flat ini pun cukup ketat karena di pintu masuk bawah ada penjaga, menggunakan lift kami menuju ke lantai 11 tempat kawan saya. Kalau saya tidak salah flat ini berlokasi di daerah Bukit Jambul, Penang. Ada banyak sekali bangunan-bangunan menjulang serupa dilokasi ini, kawan saya bilang memang di kawasan ini merupakan kawasan pekerja jadi jangan heran kalo pagi ini pun kami sarapan lontong sayur, karena memang banyak juga orang Indon (baca: Indonesia) yang menempati flat-flat di sekitar ini.  Sesampai di kamar kawan kami langsung beraktivitas mandi, sarapan sebentar ngobrol walopun kami sudah cukup di buat jetlag selama 12 Jam menempuh ratusan Kilometer dari Singapura, tak ada niat kami untuk beristirahat karena kami memang harus melanjutkan perjalanan menuju ke destinasi yang kami rancang dan tepat pukul 09.10 kami sudah berada di mobil yang akan mengantar kami menuju ke Bukit Bendera (Penang Hill).
  
Penang Hill, 1923
Tidak sampai 35 menit kami sudah tiba di area Bukit Bendera, masih dibilang pagi lah saya rasa, kabut juga masih cukup tebal.  Namun untuk menghemat waktu kami langsung menuju counter tiket train, yang akan mengantar kami naik menuju ke bukit bendera.  Awalnya kami pikir kami bisa mendapatkan tiket dengan harga seperti wisatawan domestik yakni 8 RM, namun rupanya kami harus bisa menunjukkan IC sebagai warga Malaysia, namun berhubung kami tidak bisa terpaksalah kami menunjukkan Paspor kami dan benar saja harganya menjadi 30 RM untuk wisatawan asing.  Sebenarnya sih bukan hal baru perlakuan tarif seperti ini, pengalaman saya waktu mengantar kawan dari Korea Selatan mengunjungi Candi Borobudur tahun 2007 lalu, memaksa kami menggunakan trik untuk mengecoh petugas tiket, yah kami me make over kawan kami dari Korsel itu dengan Jilbab, praktis aman dia membayar seharga tiket lokal, mengingat hal itu agak konyol juga sebenarnya, namun saat itu saya hanya berniat baik saja, tapi kok ya bohong juga padahal kan kalau si teman itu membayar seharga tiket wisatawan asing toh uangnya juga buat pengembangan wisata negara kita juga kan (akh, rupanya nasionalismeku masih semu, hehe).   

Akhirnya tiket train sudah kami dapatkan, kami bersiap menuju ke pintu masuk kereta, dan sembari menunggu train datang kami bisa dengan leluasa memperhatikan jalur rel kereta menanjak ke puncak bukit, dan Ohmaigosh, jalurnya cukup panjang ada sekitaran 3 Km mungkin, dan yang parah tingkat kemiringan relnya ini ngeri banget.  Tapi yah, ini tentunya akan menjadi pengalaman pertama saya, setelah sebelumnya tiap dengar kata “Bukit” ya bayangan kami adalah hiking untuk menapakinya sampai puncak, tapi ini oh sungguh mudahnya menuju puncak, praktis dan hemat tenaga, patutlah kita berterimakasih pada Inggris yang sudah membangunnya di tahun 1923, dan masih bisa kita nikmati detik ini tentunya saya yakin perkembangan jaman ke jaman kereta ini berbeda dan mengalami pembaruan. And then, The Journey begin Train mulai melaju naik, sudah dag dig dug saja kami dibuatnya, tak lupa saya abadikan rekam jalur rel yang ada di depan kami, karena kebetulan kami mendapatkan gerbong terdepan jadi leluasa berdiri memvideokan jalur rel kereta yang cukup sangar itu, di atas harus pula memasuki lorong gelap, wuiih,,, lumayan 10 menit yang mendebarkan sampailah kita di pemberhentian Train.  Semua penumpang turun dan melanjutkan berjalan kaki di sekeliling bukit ini, disediakan teropong bidik untuk bisa melihat lanskap Kota Penang dari ketinggian, hanya dengan memasukkan uang 1RM, namun keberuntungan sedang tak berpihak pasalnya masih kabut percuma saja kita membidik kota.  Kami kembali berjalan menuju ke atas, terdapat The Owl Museum dan mengambil beberapa gambar peninggalan yang ada.  Kami masih penasaran menuju ke bukit lebih atas, hanya saja kaki lumayan lelah kalo harus berjalan lagi (padahal biasanya memanjat ke Gunung aja gak pernah ngeluh nar?), akhirnya kami putuskan menyewa Hill Buggy Service, untuk berkeliling bukit dan melihat peninggalan yang ada dengan membayar 30 RM, hal yang menarik dari bukit ini terdapat villa-villa milik pribadi yang berada di lokasi wisata, rumah tinggalpun juga ada baik orang China maupun India juga menempati rumah-rumah yanga ada, rupanya dulu tempat ini diperjualbelikan, Southview merupakan rumah peranginan kakitangan majelis perbandaran pulau Pinang, ada juga Monkey cup sebenarnya kami ingin lebih menaiki bukit ini namun kata sopir Buggy Servicenya katanya tidak dibolehkan karena di atas ada kamp tentara dari Angakatan Udara yang sedang memantau radar, terpaksa kami sudahi petualangan dan kembali turun.  Sesampai di bawah kami melihat-lihat Kuil Hindu dan melihat toko yang menjual jasa menggambar dengan inai, khas Arab, India gitu. Awalnya pengen mengabadikan moment traveling ini dengan menggambar Tato Inai di tangan bertemakan Barcode jadi cuman semacam garis-garis dan mencantumkan tanggal kadaluwarsa jalan-jalan ini, tapi saya urungkan  berhubung harganya tidak wajar 30 RM.  Pukul 12.30 kami putuskan untuk meninggalkan Penang Hill karena harus melanjutkan perjalanan ke Kek Lok Si Temple.

Kek Lok Si Temple,
Perjalanan menuju Kek Lok Si Temple, jika di tempuh dari Bukit bendera hanya sekitar 20 menit, kami menggunakan Bus dengan membayar 2 RM. Pengemudi Bus di Penang ini disebut “Bas Kapten” (Tuh buat yang ngakunya Prajurit, jangan sok lah di Penang aja Sopir Bus jabatannya Kapten Lhoh).  Dalam perjalanan ini saya banyak melihat pasar rakyat yang bisa dibilang mayoritas China, sangat ramai pasar siang itu apalagi jelang Imlek dan bagi saya selalu menarik menikmati hiruk pikuknya.  Sekitar Pukul 12.50 agaknya kami kelewatan jalan menuju ke Kek Lok Si Temple, alhasil kami harus kembali berjalan kaki menuju pintu masuk temple yang berada di dalam lumayan juga ternyata.  Kami langsung berjalan-jalan melihat sekeliling kuil, lumayan juga menanjaknya sampailah saya di pintu masuk Pagoda, harus membayar 2 RM untuk bisa mengakses Pagoda, saran saya masuk saja kalaupun kita tidak sreg karena bertentangan dengan keyakinan kita, tapi percayalah ini peninggalan sejarah yang tidak ada hubungannya dengan keyakinan sama sekali. Apalagi kuil ini pun juga semarak menyambut Tahun baru Imlek, jadi sangat meriah sekali suasana kuilnya. Saya jadi merasa beruntung berkunjung di saat menjelang tahun baru Imlek.  Puas kami di Kek Lok Si Temple, kami bergegas untuk keluar untuk melanjutkan petualangan saya, kali ini kami mau menjelalah Goerge Town.


                 Jalan jalan tidak ada hubungannya dengan tidak cinta tanah air

Berburu Mural dan Unique Wrought-Iron Caricatures di  George Town
Berdasarkan info George Town telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu situs warisan dunia dengan kotanya yang memiliki nilai budaya terkemuka pada 7 Juli 2008.  Penghargaan ini menunjukkan bahwa Penang memiliki bangunan yang unik dan bersejarah, juga warisan budaya yang multi etnik dan kota kolonial yang sudah cukup tua. 
George Town memiliki destinasi unik yakni Street art telah menjadi bagian dari destinasi wisata yang dikemas secara apik, selain juga di seputaran George Town ini kita akan menemukan Karikatur unik yang terbuat dari baja besi dengan tema tulisan dengan gaya anekdot yang menggambarkan tentang jalan dimana karikatur itu di pasang.  Saya cukup penasaran karnanya Penang lebih khususnya George Town kami tulis dalam to do list jalan-jalan kami.  Namun untuk menemukan lokasi ini saya cukup dibuat bingung, karena bayangkan saja ada sekitar 18 titik mural dan 52 Karikatur Besi baja tersebar di jalan-jalan seputaran George Town. Namun saya dan kawan coba yakinkan diri dan kuatkan kaki untuk benar-benar jalan berburu, Awalnya kami cukup klesulitan menemukan, namun ketika kami sampai di Lebuh Armenian (baca:jalan Armenian) satu persatu gambar mural mulai ketemu, dan benar saja di seputaran lebuh Armenian, lebuh Chulla, lebuh Ah Quee, Lebuh Cannon.  Sedangkan Karikatur yang berjumlah sekitar 52 an itupun juga tersebar di seputaran jalan di Kota George Town (maaf kalo saya sebutkan jalannya terlalu banyak)  Intinya dibutuhkan kaki yang kuat untuk keep walking berburu mural dan karikatur di George Town ini, tapi percayalah setelah kamu menemukannya satu persatu kamu akan merasa telah menemukan sesuatu yang sangat berharga.  Ada Mural tema Kids on Bicycle, Old Motorcycle, Boy on Chair, Skippy, Bruce Lee, magic dan banyak lagi That’s it !!!
Doc. Little Children on a Bicycle

                                                    Doc. Old Motorcycle


                                                           Doc. Bruce Lee

Hari beranjak sore dan waktu memaksa saya dan kawan mengakhiri petualangan di George Town, Penang karena malam ini tepatnya pukul 00.00 kami harus kembali lagi menempuh perjalanan panjang ke Kuala Lumpur.  Malam di George Town kami nikmati di Queensbay sambil menunggu jadwal keberangkatan Bus kami, di area Queensbay kami sempatkan makan malam di Queensbay Mal dan setelahnya kami menikmati indahnya jembatan Penang (Penang Bridge) dengan lampu lampunya, jembatan ini menghubungkan George Town dan Kota Buttersworth.  Jika saja kami tinggal lebih lama pasti kami akan menyeberang ke Buttersworth, karena berdasar info yang kami dapat lama penyeberangan hanya 15 menit menggunaan Feri, Tarifnya pun hanya membayar sekali saja artinya pergi bayar pulang gratis.  Di Buttersworth sendiri juga banyak destinasi wisata selain kadang wisatawan menyempatan makan sambil menikmati pemandangan yang super aduhai.  Sayang destinasi ini harus kami lewatkan, sebagai gantinya kami hanya menikmati kerlap kerlip lampu kota Buttersworth dari Queensbay.  Malam semakin beranjak menuju ke pukul 00.00 itu artinya kami harus bersiap menuju ke terminal Sungai Nibong.  Sesampai di terminal masih pukul 23.25 kami pergunakan untuk memastikan tiket yang sudah kami beli seharga 38 RM dan menunggu kedatangan Bus yang akan membawa kami ke Kuala Lumpur tepatnya ke Puduraya Station.  Pukul 00.25 Bus benar-benar meninggalkan Penang, perjalanan selama 5 jam pun kami gunakan untuk istirahat.  Pukul 05.35 Kami telah sampai di Puduraya, artinya kami sudah di Kuala Lumpur lagi.  Masih sangat gelap namun geliat aktivitas warganya sudah mulai ramai, kami manfaatkan waktu sebentar untuk istirahat dan tentunya cuci muka.  Pagi ini kami akan langsung memanfaatkan wkatu setengah hari untuk agenda City Tour dan kami sepakat mengawalinya dari mengunjungi Menara Petronas (Twin Tower),  dari Puduraya Station ini kita bisa langsung menggunakan MRT, LRT maupun Bas.  Saran saya jika ingin tinggal dalam waktu lama mending membeli kartu Rapid seharga 12 RM dengan isi sebanyak 10 RM, dengan memiliki kartu itu kita bisa menggunakan transportasi umum MRT, LRT maupun Bas, namun jika hanya sebentar saja kita bisa langsung membeli tiket sekali jalan saja dengan cara yang sangat mudah.  Namun kami putuskan untuk membeli dengan alasan tidak setiap saat kami punya cadangan koin untuk bisa membeli token ke mesin-mesin tiket.  Yah walopun tidak cukup banyak kami pakai, setidaknya bisa kita bawa pulang dan jadi kenang-kenangan (hehe).  Kenapa tidak banyak terpakai, karena untuk mengakses destinasi di seputar Kota Kuala Lumpur kita bisa memanfaatkan Free Bas khusus wisatawan untuk agenda City Tour.  Jalur Bas City Tour ini ada dua yakni Green line dan juga Purple Line dengan rute yang sudah ditentukan, tapi tidak perlu khawatir karena kita pun bisa berganti jalur dari Bas Hijau ke Bas Ungu, karena ada titik temu pemberhentian dimana kita bisa bertukar rute (ehm, cukup membantu lah).  Selain itu ada juga KL Hop On Hop Off City Tour, Bentuk Bas ini bertingkat dua dengan bagian atas berupa dek terbuka.  Hanya saja jika kita menggunakan Bas ini berbayar sebesar 120 RM, kelebihan dari Bas ini adalah selain fasilitas City Tour juga wisatawan akan diajak menikmati suguhan atraksi di sekitar Kuala Lumpur City Gallery, Federal Territory Mosque, Batu Caves, menikmati rasa sate Malasysia, melihat pemandangan di Ulu Hangat dan Shopping di China Town.  Rute kami kali ini adalah Twin Tower, Matic, KL Tower, Petaling Street, Central Market dan Art Market.  Di KL Tower pun kita cukup dimudahkan pasalnya ada shuttle gratis yang mengantarkan kami menuju pintu masuk menara.  Setiba di KL Tower biasanya ada pemandu yang menawarkan kepada kita apakah kita mau menaiki KL Tower atau tidak, saya putuskan untuk tidak menaikinya karena tariff tiketnya lumayan mahal 80 RM, jadilah kami hanya keliling saja, di KL Tower ini pun terdapat lokasi-lokasi yang bisa di kunjungi seperti Cultural Village dimana terdapat beberapa rumah adat Negara Malaysia, KL Tower Animal Zone, dan lainnya.  Puas kami berjalan-jalan di KL Tower, kami pun turun tentunya dengan Shuttle gratis seperti pada saat kami naik.  Selama berada di Shutlle ini kami bertemu dengan beberapa wisatawan, dari Boston, USA dan Korea Selatan.  Kami sempatkan untuk ngobrol dengan mereka, dan alhasil kami pun sepakat bergabung untuk meneruskan City Tour bersama menggunakan Free Bas.  Begitulah kalau sesama orang yang sedang berada di Negara orang, saya rasa secara tidak menyengaja kami membentuk sebuah Crowd yang didasarkan atas kepentingan yang sama namun setelah tujuan selesai ya crowd ini pun bubar dengan sendirinya tanpa ikatan apapun.
Siang berlalu kami pun sudahi City Tour ini dan melakukan perjalanan menuju tempat inap kami, kami menginap di rumah sodara kawan saya, lumayanlah mengurangi budget untuk menyewa penginapan.  Pukul 14.50 pun kami telah sampai di Klang, daerah tempat sodara kawan saya itu tinggal.  Saya ceritakan sedikit mengenai daerah Klang ini, saya rasa daerah ini ditempati oleh mayoritas orang Indonesia, walopun tak pasti juga sih anggapan saya ini namun secara fakta saya banyak sekali berjumpa dengan orang Indonesia, maklum saja daerah ini dekat dengan Pelabuhan dan terdapat banyak sekali Pabrik yang tentunya banyak mempekerjakan tenaga kerja dari Indonesia.  Sore ini kami manfaatkan waktu untuk istirahat setelah tiga malam sebelumnya praktis tempat tidur kami adalah kursi Bus.  Sedangkan malamnya saya sangat antusias saat diajak untuk berjalan-jalan ke Pasar Malam, Pasar malam selalu memiliki keunikan tersendiri buat saya, selain barang maupun jajanan dari berbagai etnis, tentunya proses tawar menawarnya pun jadi berbeda bahasa juga. Cukup menarik untuk menghabiskan malam sebelum kami beristirahat menyiapkan tenaga untuk berkunjung ke Genting Highlands esok pagi.


                                          Doc. Twin Tower

Genting Highlands : Feel like in Macau
Pagi benar kami sudah bangun pagi dan segera bersiap untuk perjalanan ke Genting Highlands, akan memakan waktu sekitar 2,5 jam untuk bisa mencapai Genting Highlands tentunya kondisional juga tergantung transportasi yang nantinya akan kami gunakan.  Tepat pukul 09.05 kami berangkat menuju Puduraya Station untuk mencari Bus yang akan membawa kami menuju ke Genting highlands.  Kami pun setibanya di Puduraya langsung menuju ke Loket khusus untuk membeli tiket ke Genting highlands, dengan membayar 20.60 RM kita sudah mendapatkan tiket Bus pulang pergi berikut tiket menaiki Cable Car.  Saat kita ditanya akan membeli tiket PP maka waktu kepulangan harus kita pertimbangkan, pasalnya karena ketidaktahuan medan kami salah memanaj waktu. Kami putuskan untuk memilih jadwal kepulangan pukul 16.00, namun rupanya pukul 14.20 kami sudah selesai berkeliling.  Lama perjalanan dari Puduraya sekitar 1 jam, dan setibanya di Genting highlands kita langsung dapat menaiki Cable Car tanpa harus banyak mengantri, perjalanan menuju ke puncak ini berjarak sekitar 3,5 Km an dengan pemandangan pepohonan yang indah serta udara yang sangat sejuk, mungkin seperti di Puncak Bogor.  Hanya saja menaiki Cable Car ini menjadi pengalaman pertama karenanya agak takut di awal perjalanan, yang saya bayangkan ketika menaiki ini adalah akan mengalami kejadian-kejadian seperti di film-film Final Destination, entah Relnya lepas, Kabelnya putus atau tiba-tiba berhenti pas di tengah-tengah, Huffft,,,,agak ngaco juga pikiran saya, tapi percaya saja pada alat dan takdir tentunya, hehehe.  Setelah kurang lebih sekitar 15 menit kami berada di Cable Car, kami sampai di puncak dan langsung dihubungkan dengan sebuah Resort yang super duper mewah, itulah Resort World.  Ada Mal, ada Wahana Permaiann First World dan yang paling seru ada Casinonya, Casino De Genting.  Ehm, Pengalaman seru adalah saat saya memaksa kawan saya yang yah saya sebenarnya hormati dia karena berkostum Islami namun rupanya dia pun juga tertantang untuk sekedar masuk melihat permainan dan tentunya orang-orang yang mencari keberuntungan di dalamnya.  Setelah sedikit memaksa akhirnya kawan mau ikut masuk, tapi rupanya tidak cukup mulus rencana kami untuk bisa leluasa memasuki Casino De Genting ini, pasalnya waktu melewati pintu masuk kami dihadang oleh Security, Cewek sich tapi garang juga rupanya, Manis ala-ala India gitu. Kami dicek ini itu dan diminta untuk menitipkan tas berikut isinya di dalam sebuah loker khusus, yang saya ingat kata-katanya adalah No Camera, No Bag, dll.  Kami patuhi saja permintaan security itu karena pada dasarnya kami tidak ingin aneh-aneh hanya ingin melihat saja.  Akhirnya lolos juga kami bisa masuk ke Casino, wah kaget dibuatnya karena lokasi Casino ini cukup apik, rapi dan sangat rame tiap orang asik bermain dan mencari peruntungan.  Didalamnya pun sudah disediakan mesin-mesin ATM.  Mayoritas yang kami lihat bermain di Casino ini adalah Keturunan Tiong Hoa, dan mereka sangat mahir sekali bermain.  Kami lihat betul bagaimana mereka main, penuh stratgei dan perhitungan matang, banyak dari mereka menang.  Namun konon katanya banyak juga orang-orang yang frustasi karena kalah telak dan malu untuk kembali pulang akhirnya Suicide di Genting.  Wah merinding juga dengernya, apalagi seorang kawan kami yang tinggal di Malaysia pernah bergurau kalau Genting menjadi pusat Jin nya Malaysia. Ehm, pantas saja kami tadi sempat tertarik untuk juga ikut-ikutan mencoba peruntungan, hehe namun karena kami tidak ada uang yah,,, selesai lah dan gak jadi kesambet jin Genting. Berada di Casino de Genting ini jadi membayangkan Macau ataupun Vegas, pasti disana lebih WOW lagi ya.  

Pukul 13.30 kami sudah turun kembali menggunakan Cable Car, setibanya di bawah kami sempatkan membeli oleh-oleh dan berkeliling sambil menunggu jadwal keberangkatan kami yang masih cukup lama sekitar pukul 16.00.  Namun kami sempatkan juga menanyakan ke tiket Counter apakah memungkinkan kami majukan jadwal, dan penjelasannya dibolehkan masuk ke Bus jika memungkinkan ada kursi kosong.  Akhirnya kami menunggu di Bus Station dan berharap akan bisa pulang menggunakan Bus lebih awal, hanya saja selalu penuh.  Lumayan membosankan juga menunggu waktu kepulangan sekitar 1 jam lebih akhirnya saya berjalan-jalan yang tentunya melihat kanan-kiri mana tau ada obyek yang menarik untuk diabadikan (hahaha, selfie syndromne), tapi ya ga sia-sia karena nemu juga food truck merah yang bertingkat, dengan nama Café London, bagus juga rupanya.  Lapar melanda dan saya pun mencari café beneran sambil menunggu Bus datang, bener sih ke rumah makan tapi saya cukup sanggup beli Noodle Cup, itu saja sudah mahal bo! Maklum destinasi ini berada di ketinggian jadinya makanan serba mahal, tapi lumayan lah bisa menghangatkan badan segelas mie ini.  Akhirnya pukul 15.30 Bus kami datang dan kami pun bergegas masuk untuk pulang menuju ke Kuala Lumpur.  Setibanya kami di Kuala Lumpur kami sempatkan mampir lagi ke Petaling Street untuk mencari cinderamata, dan setelahnya baru kembali ke Klang.  Malam nanti kami masih menyisakan satu destinasi wajib kunjung sebelum besok pagi pukul 04.00 kami kembali ke Indonesia.  Ya destnasi ini adalah I-City, ataupun sering di kenal Forest City, yang berada di Syah Alam, jika ditempuh dari Klang tidak terlalu jauh, namun jika ditempuh dari Kuala Lumpur akan memakan waktu perjalanan 1 jam.  Berdasarkan referensi yang kami baca I-City ini sebenarnya kawasan mal, namun terdapat wisata outdoornya berupa Pohon Lampu dan Wahana Permainan, dan tempat ini baru akan indah ketika kita kunjungi malam hari, karena semua serba lampu warna warni.  Konsepnya cukup bagus dan lagi gratis pula amsuk ke I-City ini.  Sewaktu berada disana saya sempatkan merekam dengan HP saya bagaimana sparklingnya I-City ini. Setelah puas kami menikmati I-City, kami ditawarkan teman kami dari Malaysia, kata dia ada Pasar Malam yang menjual barang-barang bagus baik second maupun baru, ehm, sebenarnya dari awal ini nih yang saya cari, setidaknya walopun cuma sekedar melihat-lihat atau barangkali nantinya saya akan membeli sesuatu tapi setidaknya saya exicted.  Akhirnya benar kami sepakat menuju ke lokasi itu, saat sebenarnya kami sudah sampai di lokasi bukan main ramenya sampai parker mobil sudah tidak ada lagi, niat teman saya adalah hendak memutar balik sambil mencari lokasi parkir namun ditengah perjalanan kami temui kemacetan, awalnya kami kira kecelakaan namun ternyata razia polisi, oooo…We’re on Trouble nich!.  Mobil yang kami naiki rupanya masuk kedalam mobil yang di stop oleh Polisi, saat itu juga saya coba yakinkan ke teman apakah surat-surat kendaraan lengkap, aman kata dia. Nah rupanya satu yang gak aman, kawan saya lupa tidak membawa Paspornya.  Alhasil kami di investigasi sana sini, terutama kawan kami yang tidak bisa menunjukkan identitas, namun setelah panjang lebar akhirnya diijinkan juga kami jalan.  Rupanya kawan saya sudah terlalu capek dan shock juga dengan apa yang baru saja terjadi, akhirnya kami pun putuskan untuk pulang saja dan kami gagal untuk mengunjungi pasar malam itu.  Maklum saja malam juga sudah larut, apalagi esok pagi kami harus bangun pukul 04.00 untuk berangkat menuju bandara KLIA.  Petualangan berakhir dengan tidak mulus namun bagi saya sangat berkesan.(nar)

                                                                 Doc. Forest City


















Senin, 03 Februari 2014

Menembus Batas Nusa (from west to east)

14 Juni 2011 pukul 4:14

“ … wokey ketemu di Pulau Rinca … “, kira-kira begitu bunyi sms terakhir seorang kawan yang sedang berada di pulau Rinca, kawasan TN.Komodo, Flores, kira-kira satu minggu sebelum akhirnya aku benar-benar putuskan untuk pergi ke sana dengan cara backpacker.  Bukan tanpa alasan juga jika pada akhirnya aku benar-benar nekat, mimpi dari 8 tahun yang lalu rupanya benar-benar mewujud, terkontaminasi buku travel guide edisi “From Bali to East” karangan kal muller, terbitan Periplus yang kubeli. Buku itulah yang membuatku semakin penasaran dengan Indonesia Timur, yach walaupun baru sebatas sampai di Flores barat, tapi rasa penasaranku terobati sudah.
Gayung bersambut ketika kawanku Rizal yang bergiat di Bima mau aku ajak backpackeran dan juga beruntung ada teman yang lebih ku anggap sebagai sodara mempersilahkan kami untuk datang.
Perjalanan aku mulai dari terminal Mandalika, Mataram Pukul 15.00 Wita menggunakan Bis yang menuju Bima, meeting pointku dengan kawan adalah di kota Bima, ujung timur Pulau Sumbawa, NTB.  Lumayan panjang waktu perjalanan menuju Bima yakni 12 jam.  Pukul 17.30 Wita Bis sudah berada di Kapal Ferry untuk menyeberangi selat Sumbawa dari Pelabuhan Kayangan, Ujung Timur Pulau Lombok.  Ku ceritakan sedikit kawan, Labuhan Lombok ini konon katanya sebagai awal mula berdirinya kerajaan Selaparang, kerajaan besar yang ada di gumi Sasak, sebelum dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi setelah kerajaan dipandang maju pesat oleh pendirinya, yang kemudian orang-orang ramai menyebutnya kampung  Selaparang. Selama 2 jam aku menaiki Ferry  “ Minggis “ menuju ke Pelabuhan Poto Tano Sumbawa.  Seiring kapal laut ini bergoyang oleh gelombang laut, ada banyak hal yang ku amati diantaranya ; ada seorang yang yach mengaku seorang polisi (padahal menurutku tidak ada tampang dia seorang prajurit, ato mungkin dulu dia menyogok waktu akan masuk kesatuan akh aku ga tau), aku lebih tertarik memperhatikan gayanya yang sok-sokan pamerin senjatanya, walaupun kuakui itu pandangan yang memuakkan.  Tapi dari yang aku lihat itulah, ingatanku melayang pada obrolan suatu malam di kos dengan teman-teman.  Salah seorang teman kos bilang kalau menjadi polisi di Tanah Sumbawa itu merupakan hal yang membanggakan, bahkan tak perlulah dia mengejar-ngejar gadis, karena dengan sendirinya dia akan jadi rebutan para gadis.  Tak jarang jika berkembang rumor bahwa orang Sumbawa seringkali menghalalkan segala cara untuk mendapatkan calon suami/calon menantu seorang polisi.  Akh, tapi bukankah itu juga berlaku di daerahmu kawan?
Lupakan tentang cerita polisi, aku beralih ke sudut yang lain di kapal ini, ada perempuan paruh baya, so sexy, menggoda baik dari gaya maupun tuturnya.  Lumayan bisa menjadi ice breaker di tengah-tengah kejenuhan orang-orang menyeberang yang seakan tak sampai-sampai di Poto Tano, Sumbawa.  Bicaranya ngelantur seperti keong racun, tapi satu hal yang aku suka perempuan ini ngomong secara cablak (apa adanya), tanpa kepentingan dan sangat menghibur.  Kalau boleh membandingkan dengan anggota dewan, ehm..jauh, mereka lebih sering “ esuk dele, sore tempe” istilah Jawa untuk menggambarkan ketidakonsistenan.  Jujur saya salut dengan keberanian perempuan ini.  Singkat cerita yang ku tahu dia mendapatkan No Hp seorang yang yach mungkin hidung belang.  Begitulah 2 jam ku di Ferry terisi oleh hal-hal yang menarik hingga pada akhirnya sampai juga aku di Pelabuhan Poto Tano Sumbawa.
Bis membawaku melintas sepanjang pulau Sumbawa, pulau yang katanya banyak menyimpan harta alam, bukit-bukit kecil yang mengandung emas yang saat ini sedang ramai diperdebatkan dan menjadi rebutan penguasa negeri.  Aku ingin merasakan kelezatan ayam Taliwang di tempat asalnya, tapi aku juga harus membuang keinginan itu karena bis ini akan terus melaju dan baru berhenti ketika sampai di kota Bima.  Beranjak larut malam aku melintas sepanjang Dompu, Tak ada yang dapat kulihat dengan jelas dari dalam bis ini hanya sesekali melintas di perbukitan kecil.  Akh seandainya saja siang hari aku melintas di daerah ini tentunya aku akan melihat Gunung Tambora, gunung berapi dengan letusan terdahsyat sepanjang sejarah dunia.  Letusan yang pada tahun 1815 silam, tidak hanya mengakibatkan tiga kerajaan ( Pekat, Sanggar dan Tambora ) musnah tapi juga mempengaruhi perubahan musim sampai ke benua Eropa. Begitulah keperkasaan Gunung Tambora, gunung berapi tertinggi di pulau Sumbawa yang terletak diantara kabupaten Dompu dan Bima. Tambora  berada di wilayah jalur selatan gunung api atau yang biasa disebut jalur magmatic tua berumur 25 juta tahun, akrab di sebut pegunungan selatan (andesit tua), hal ini jugalah yang membuat pulau ini kaya kandungan emas primer. Akh,membicarakan Tambora ga akan ada bosannya, tunggu saja suatu saat aku pasti kesana.  Sepanjang Dompu-Bima ini kita akan melihat padang-padang tempat ribuan rusa berlarian.
Saat adzan Shubuh berkumandang, barulah perjalanan ini berakhir di kota Bima, di terminal Dara inilah meeting pointku dengan seorang temanku Rizal yang sama-sama bergiat di ke KPU an dan di KPA an. Setelah bersua, kami putuskan langsung mencari bis menuju pelabuhan Sape, tarif bis menuju pelabuahn ini sebesar 20 ribu.  Pelabuhan yang merupakan titik awal penyeberangan menuju Labuhan bajo, Flores.  Perjalanan sekitar 2 jam ini kami di suguhi musik keras-keras , khas Indonesia timur banget deh. Parahnya speakernya tepat berada di atas kursiku jadi alamat tak bisa memejamkan mata&tidur nih padahal malam tadi nyaris susah terpejam.  Akhirnya ya ku manfaatin aja buat memandang pemandangan sepanjang jalan, ada perkampungan dengan desain rumah panggung, padang sabana, bukit dan jurang terjal juga penduduk Bima pedalaman yang memakai sarung.
Setelah 2 jam yang menyiksa itu, pukul 07.00 Wita sampailah kami di pelabuhan Sape, setelah kami turun dari Bis, kami langsung mencari tiket Ferry yang akan menyeberang ke Labuhan bajo.  Kami membeli tiket Ferry yang harganya kurang dari 50 ribu dan langsung bersiap menuju pintu masuk Ferry, hanya saja berita tak mengasikkan datang dari petugas pemeriksaan tiket. Ada perubahan jadwal keberangkatan Ferry menuju Labuhan bajo lantaran masih ada puso (baca:truk) bermuatan solar yang masih berada di Bima, sehingga keberangkatan Ferry ini tertunda selama 3 jam. Huffth,…mau gimana lagi kalo ternyata ploting waktu yang sudah di atur terpaksa meleset, akhirnya ya kami tetap masuk ke Ferry sambil berfikir apa yang mau dilakukan selama 3 jam menunggu keberangkatan Ferry.   Akhirnya kawanku Rizal memanfaatkan waktu untuk tidur, maklum malam tadi dia bergadang supaya bisa on time tiba di meeting point kami.  Sedangkan aku, memanfaatkannya untuk recharge HP, di sela-sela menunggu HP ini aku seringkali di sambangin anak-anak penjaja makanan di ferry ini, kuperhatikan memang sebagian besar penjual nasi adalah anak-anak usia sekolah.  Tadinya ku pikir mereka tidak lagi bersekolah karena berkeliaran di jam-jam sekolah, tapi dugaanku salah, aku baru nyadar jika hari itu adalah tanggal merah, sehingga mereka memanfaatkan tuk membantu orang tua, walaupun dari mereka tak sedikit juga yang memang sudah benar-benar putus sekolah. Di sela mereka menyambangiku, sempat ku tanyakan hari ini kenapa tanggal merah, ada perayaan apa, mereka tak bisa menjawab hanya jawaban mereka adalah guru kami menyuruh kami untuk tidak datang ke sekolah, oiya…saya maklumi.  Ketika lagi ku tanya kalau hari kemarin tepat 1 Juni itu memperingati apa, mereka kompak menjawab hari kelahiran bangsa Indonesia.  Tapi aku tidak menyalahkan ketidaktahuan mereka, mungkin bagi anak-anak di Kota pertanyaan seperti tadi pertanyaan yang tidak susah untuk di jawab, tapi bagi mereka anak-anak yang berada di pesisir ini, yang harus berjalan kaki berkilo-kilo, pertanyaan tadi sungguhlah sukar. Ehm, beginilah potret Indonesia.  Beberapa saat di sela keasyikanku ngobrol dengan mereka aku baru nyadar kalo tujuan mereka sebenarnya kan berjualan, kenapa aku ajak ngobrol. Wah akhirnya sebagai penebus dosa, ku kasih saja mereka beberapa coklat yang memang sengaja ku beli sebagai teman selama perjalanan.
Pukul 11.15 Wita barulah ferry mulai benar-benar meninggalkan Pelabuhan Sape, Selama di Ferry ini beragam orang coba ku perhatikan, ku sempatkan berbincang dengan Pak Daniel, orang Ruteng.  Hal pertama yang dia tanyakan adalah aku seorang apa, muslim atau kristiani, apakah aku ke Labuhan bajo dalam rangka penelitian. Akh, agak malas sebenarnya menjawabnya, tapi demi menghormatinya aku jawab apa yang ia tanyakan.  Ku liat ada kelegaan tersendiri karena pak Daniel mengangguk seolah yakin tuk berbincang denganku. Banyak yang kami bincangkan, mulai dari dia menerangkan peta jalur laut ini,Gunung Seniang yang berada di tengah laut, juga pulau Komodo, berikut Ende lengkap dengan kisah pengasingan Bung Karno, nyambung sekali tema ini aku dapatkan di bulan Juni ini yang diperingati sebagai bulan Bung Karno, juga kisah-kisah mistis danau Kelimutu, danau tiga warna pembaca pertanda gonjang ganjing negeri ini.  Perbincangan kami tak tentu arah kadang kami membicarakan isu terkini, seperti isu Divestasi 7 % saham Newmount, terakhir aku coba perdengarkan musik dari Timur yang dulu sengaja ku minta dari koleksi seorang kawan yang saat ini berada di Ende.  Sangat beragam sekali bahasa daerah di NTT, sehingga bapak itu harus jeli mendengar lagu yang saya putarkan demi menjawab pertanyaan lagu tersebut berasal dari daerah mana.
Perjalanan sudah terlewati selama 6 jam,sekitar pukul 17.03 wita aku dan Rizal memutuskan untuk pindah tempat, sudah sore seperti ini paling asyik adalah menikmati view laut berikut gugusan ratusan pulau dari deck paling atas, akhirnya kami bawa Daypack kami menuju ke atas, dan benar saja ketika kami sampai, sudah banyak penumpang yang lebih dulu bersantai di atas, banyak bule yang juga menikmati pemandangan dari atas sini. Ku amati satu bule yang kelak akupun menjumpainya di Pulau Rinca, sedang duduk lesehan di ujung sana, dia asyik menulis buku harian entah apa yang dia tuliskan.  Kami nikmati bersama pemandangan ini sambil berbincang hal-hal yang tak begitu penting sampai-sampai tak terasa pelabuhan Bajo sudah mulai nampak, walau masih dari kejauhan.  Itu artinya kami sebentar lagi akan menginjakkan kaki di Pulau Flores.
Ku ceritakan sedikit mengenai Flores ini kawan, Menurut sejarah Pulau Flores ini berasal dari bahasa Portugis “ Copa de Flores “ yang artinya Tanjung Bunga.  Nama ini secara resmi dipakai sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Flores sendiri punya nama asli Nusa Nipa yang artinya Pulau Ular.  Pulau ini memiliki luas sekitar 14.300 kilometer persegi dan merupakan bagian dari provinsi Nusa Tenggara Timur.  Pulau ini dibagi menjadi delapan kabupaten. Kabupaten Flores Timur yang beribu kota di Larantuka ada di ujung timur, sementara Kabupaten Manggarai Barat dengan ibu kota Labuan Bajo ada di ujung barat.
Sekitar pukul 19.25 Wita, Ferry benar-benar sudah berlabuh di Labuhan bajo,seperti tak ingin berlama-lama lagi kami langsung bergegas turun dari kapal menuju ke teman kami sekeluarga yang sedari tadi sudah menunggui.  Dan tibalah kami di pintu gerbang Labuhan Bajo, dan benar kawan kami mas lukman&keluarga sudah menunggu kami.  Malam ini kami tidak bermalam di Labuhan bajo, melainkan langsung menyeberang ke Pulau Rinca, Kawasan TN. Komodo.  Dan rupa-rupanya boat yang akan mengantar kami dan juga keluarga mas Lukman sudah disiapkan.  Sejujurnya saya agak takut harus menyeberang laut malam-malam, dengan Boat nelayan pula, bagaimana kalau tiba-tiba air naik dan menenggelamkan perahu boat itu, akh..semua pikiran itu segera ku minimalisir, minimal aku meyakini apa yang dikatakan bapak pemilik boat sambil dalam hati berdoa saja selamat sampai di Pulau Rinca.  Sepanjang perjalanan dengan boat ini sebenarnya saya sangat mengantuk, perjalanan dari Mataram-Bima-Labuhan bajo lumayan membuatku terasa kelelahan.  Setelah 2,5 jam berada dalam boat yang gelap tanpa cahaya serta dingin itu, sampailah kami di dermaga Loh Buaya, Pulau Rinca.  Waktu itu sudah menunjukkan pukul 21.35 Wita, setelah itu kami masuk ke kawasan pulau menuju ke tempat penginapan milik  Dephut.  Setelah sampai kami bersalaman dan berbincang sebentar dengan orang-orang yang berada disana.
 Berhubung sudah malam dan saya butuh istirahat, akhirnya sekitar jam sebelas malam, saya di antar ke rumah dimana disana aku akan beritirahat satu kamar dengan polhut perempuan.  Kuceritakan sedikit tentang perempuan ini, namanya Nayu, dia asli dari Soe, Kabupaten TTS , NTT.  Bagiku dia cukup berani ambil resiko dan menikmati pekerjaannya.  Dan kalau bisa ku bilang pilihan yang hebat lah, gimana enggak di pulau Rinca ini akses komunikasi masih terbatas via Radio komunikasi (HT), sinyal pun belum masuk, parahnya kalo mau mencari sinyal HP mesti menyeberang ke Pulau Kambing dan itu lumayan 45 menit an pakai perahu.  Salutlah, kita aja disini lupa bawa HP atau HP lowbat atau blank sinyal akan pusing setengah mati.
Nah beberapa info tentang komodo disini juga aku dapatkan darinya, Ada kurang lebih 1336 komodo di pulau Rinca ini. Ketajaman komodo mencium mangsa, dan kecepatannya menerkam mangsanya.  Wah, kubayangkan betul gimana kalau tiba-tiba ada komodo di bawah tempatku tidur ini dan tiba-tiba menerkam. Hufft…sampai kebawa mimpi akhirnya.  Ohya, memasuki pulau Rinca ini harus menggunakan boat, biasanya sistem carteran limit termurah adalah 500ribu, dan termahal ya puluhan juta, itu yang biasa di sewa para turis.  Sedangkan entrance fee ke pulau Rinca ini sebesar 40ribu, jasa guide sebesar 50ribu (belum termasuk tip guide), dan kamera 15ribu/unit.
Paginya, kami sudah bangun sejak pukul 05.30 Wita, aktivitas pagi kami lakukan dan sekitar pukul 06.25 Wita kami pergi menuju ke dapur untuk sarapan, wow..ternyata sudah ramai orang disana, jadi tidak enak.  Wah, udah di tunggu rupanya sama keluarga Mas Lukman, Rizal juga mas Patub.  Semalam aku belum bertemu dengan mas Patub, hahaha…long time no see brader, sekedar berjabat dan berbincang hal-hal yang lalu rupanya menjadi obat pelepas kangen.  Aktivitas pagi ini adalah bermain ke dermaga Loh Buaya Rinca, sambil berjemur dan melihat aktivitas dermaga di pagi hari.  Dermaga Loh Buaya ini satu-satunya pintu masuk menuju Pulau Rinca, disini beragam kapal dan perahu nangkring mulai dari Perahu boat milik nelayan, Kapal pesiar mini, Speed boat sampai-sampai Yacht juga ada.  Tapi sebenarnya ada alasan konyol juga kenapa kami pagi-pagi sudah pergi ke dermaga, berhembus gossip kalo akan datang kaka, ridho dan juga armand maulana, hohoho…kalau demi mereka maulah aku nunggguin. Cuma sampai siang yang ditunggu tak kunjung datang, berhembus kabar lagi kalau mereka saat ini menuju ke pulau Kanawa dan diving disana, baru akan mampir ke Pulau Rinca besok.  Wah, sudah pupus bisa ketemu Kaka, Ridho (Slank) tuk yang kedua kalinya. 
 Akhirnya pukul 11.06 Wita aku&Rizal memutuskan ikutan trekking rombongan mahakarya Indonesia.  Mereka beramai-ramai, hanya saja ketika trekking bareng mereka kurang memuaskan pasalnya hanya short trek.  Trekking di pulau ini di bagi dalam beberapa kategori diantaranya Short trek, medium trek dan juga long trek.  Kategori ini didasarkan pada waktu juga jarak.  Paling memuaskan adalah ketika bisa melakukan long trek yang lama perjalanannya sekitar 3 jam, pasalnya akan lebih banyak peluang bertemu binatang liar seperti komodo, kerbau liar, rusa, ular, elang, burung tekukur, monyet, dan yang lain.  Tapi sekali lagi itulah alam, tidak bisa menjanjikan suatu kepastian, bisa jadi jika beruntung kita akan bertemu dengan banyak binantang, tapi bisa juga jika kita sedang tak beruntung setelah jauh berjalan kita tidak menemukan satu binatang pun yang menampakkan diri.  Begitulah alam tak tertebak…
Pukul 15. 35 wita, sore ini kami di ajak untuk bermain menuju pulau Kambing, Awalnya banyak yang ingin ikut bermain ke pulau Kambing ini, hanya saja setelah semua naik ke perahu boat milik pak Dullah, auw..auw, boatnya miring. Itu artinya boat ini tak bisa menampung semua orang, so  ada yang harus ngalah untuk tidak ikutan menyeberang ke pulau Kambing, padahal yang saya tahu mereka semangat ke pulau Kambing karena di sana bisa mencari sinyal.  Akhirnya yang berangkat tinggal kami, tambah pak Bedo juga kakak Nayu tentunya dengan pak Dullah sebagai pemilik perahu.  Perjalanan yang selama 45 menit ini lebih berasa nikmat, manakala menyaksikan pemandangan indah di sepanjang pulau, dari kejauhan terlihat pulau kambing, pulau kalong, pulau mesya, pulau Nengah, juga kampong Rinca.  Begitu kami tiba di pulau Kambing, wah..indah sekali pantai berpasir putih, bening dan tak berombak. Kami langsung melakukan aktivitas sendiri-sendiri, ada yang menaiki bukit mencari sinyal termasuk aku, padahal HP dah low bat, tapi tak apalah minimal bisa memberi kabar ke keluarga.  Sedang Esa dan Elang bermain air mencari bintang laut, nah ini mas Lukman, mba Dudu asik berburu kremis (kerang), sedang pak Bedo juga di bantu Rizal, memunguti sampah yang berserak di pulau ini, kemungkinan sampah terbawa saat air pasang.  Selang bebrapa lama aku turun untuk menemani mba Dudu yang sedang asiik berburu kremis, kita belepotan pasir putih, karena mencari kremis ini kita harus kerahkan tangan kita untuk membolak-balik pasir dan kalau beruntung akan nemu kremis, cangkangnya berwarna putih.  Setelah puas kami berburu kremis, dan memang senja sudah mulai bergerak menuju ke malam, maka kami putuskan untuk kembali ke pulau Rinca, sebelum keduluan air naik maka kami harus bergegas melaju masih dengan menaiki perahu mesin pak Dullah.  Setibanya di pulau Rinca kami langsung bersih diri, dan dilanjutkan makan bersama kerang hasil buruan kami, walaupun masih belum sempurna dimasaknya.
Sabtu, 4 Juni 2011
Morning activity, bangun jam 06.00 pagi, rasanya enggan sekali bangun pagi ini, kecapekan luar biasa semalam menyerangku.  Tapi demi sebuah keinginan menyusuri pulau Rinca ini lebih jauh lagi, ya kami akan melakukan long trekking menuju ke wai waso.  Jadilah pagi-pagi kami (aku, Mas lukman, Mba Dudu, Si guide imut Esa dan Elang juga Rizal) mulai trekking, waktu ini kami ambil agar tidak terlalu panas dan berharap akan menemukan binantang liar yang juga jalan-jalan pagi seperti kami (hehehe). Setelah kami bersiap kami langsung berjalan menyusuri hutan di pulau ini, 15 menit pertama kami menemukan sarang komodo, rupanya dalam satu lokal komodo sengaja membuat  2 sarang sekaligus sarang betulan dan tidak betulan, ini yang  ada orang/hewan bisa terjebak di sarang itu dan akan di mangsa komodo.  Jadi sarang yang satu memang sarang untuk bertelur sedang satu lagi sarangnya merupakan sarang jebakan untuk mangsanya dan juga  sebagai sarang untuk mengelelabuhi musuhnya dan untuk bertahan hidup.
Perjalanan kami lanjutkan lagi, sepanjang perjalanan ini kami menemukan pohon lontar yang dililit oleh pohon beringin raksasa. Menurut informasi dulunya pohon lontar hidup lebih dulu, kemudian pohon beringin ini jauh lebih kecil dari pohon Lontar.  Pohon beringin ini menghisap pohon lontar lontar sampai mati.  Jadi pohon beringin ini pembunuh pohon lontar.  Penjelaskan ini aku dapatkan dari guide imut Elang, wah cerdas sekali dia.  Tentang lontar ini memang sudah dikenal sejak dulu bahkan jaman kerajaan dulu dimana sering menulis sesuatu di atas daun lontar, tapi bagi masyarakat timur lontar ini digunakan sebagai bahan pembuat gula, jadi jangan heran jika di sini tidak menemukan gula arena taupun gula kelapa karena memang mereka menggunakan gula yang terbuat dari lontar.  Sementara itu air lontar dijadikan minuman, yang kita biasa menyebutnya arak/tuak.  Masyarakat sini menyebutnya Sopie, sedangkan di Ruteng sana lebih dikenal dengan nama Smokee.  Tapi intinya satu kok : sama-sama memabukkan jika berlebihan.
Kemudian perjalanan kami lanjut lagi, kali ini kami menuruni bukit, dan dari sana kami melihat sekitar 4 kerbau liar, yang besar sekali. Ada yang sedang berjalan, ada yang sedang berendam dalam sungai, mungkin sama seperti kita mereka juga rutin melakukan aktivitas pagi.hehehe..lumayan lama kami mengamati kerbau liar ini sambil memperbincangkan bagaimana kuatnya komodo yang bahkan kerbau sebesar ini pun bisa ia mangsa dan menjadi menu pesta para kawanan komodo. Ah kerbau yang malang, kau tinggal menunggu waktu saja.
Perjalanan sampai juga di bukit panorama, dari sini sungguh indah karena bisa melihat lanskap pulau ini dan pemandangan pantai yang sungguh indah. Lama kami beristirahat disini, di sela-sela istirahat kami dari jarak yang  lumayan agak dekat tiba-tiba muncul kepala komodo, hohohoho, dia sedang mencari mangsa rupanya.  Seakan ada yang mengaba-aba kami langsung berdiri dan dengan terpaksa melewatkan panorama dari bukit ini.  Dan langsung tancap gas turun kembali menuju ke Loh Buaya dan tepat pukul 10.15 Wita kami tiba di Loh Buaya.  Perjalanan kali ini baru mengasikkan long trek yang cukup panjang namun banyak yang bisa kami saksikan. Dan sampai disini petualangan di pulau Rinca berakhir untuk selanjutnya kami bersiap untuk menyeberang kembali menuju ke Labuhan Bajo, Flores.   Dan untuk selanjutnya berburu oleh-oleh di  sana.
Begitulah aku ingin berbagi pengalaman, berbahagialah orang yang tidak pernah puas menjelajahi sisi bumi dalam hidupnya, karena dengan begitu mereka tidak akan pernah berhenti melangkah.  Bagi mereka yang mandeg, tak akan pernah mendapatkan apa-apa dalam hidupnya. Selesai*

... sampai pada batas yang tak terbatas ...

14 November 2013 pukul 22:55
Tiba-tiba aku tak suka bunga pagi ini, karena teringat pemakaman
Tiba-tiba aku tak suka detik ini, karena teringat pemakaman
Tiba-tiba aku tak suka dengan waktu seolah ingin mengingkari bahwa waktu sangat patut pada keputusan Tuhan, karena teringat pemakaman


Ya, satu tahun berlalu sangat cepat,
tahukah bapak aku telah berada pada batas kerinduan, kerinduan yang sejatinya tak terbatas
Ya, satu tahun berlalu sangat cepat,
ada ribuan asa yang hendak ku wujud untukmu, namun detik ini asaku melemah karenamu
Ya, satu tahun berlalu snagat cepat,
kurasakan limbung sejadinya sekalipun aku harus berdiri tegak untuk Ibu
Ya, satu tahun berlalu sangat cepat
Kubiarkan kesedihan dan kerinduan teramu menjadi satu


Tahukah bapak, detik ini aku telah sampai pada batas yang tak berbatas ...



(morning dew mendengarkan "Fix You"nya Cold Play, sementara hujan di pagi ini mengingatkan satu tahun pergi mu)